Cinta pertama adalah cinta yang tak pernah terlupakan. Begitulah kata-kata yang diungkapkan dikala bernostalgia. Kesan pertama ketika baru memasuki dunia cinta. Sungguh berat kepala memikirkannya. Coretan tinta di atas kertas menjadi sebuah perantara. Menanti sebuah jawaban sungguh merana. Ditolak adalah malapetaka. Diterima adalah kabar gembira. Ya begitulah cinta, tak tampak tapi nyata.
Surat Santriwati
Beranjak kelas tiga, aku mulai dewasa. Karena ketika itu masa-masanya mulai puberitas. Hal-hal yang berbau wanita menjadi sangat sensitif. Apalagi kalau berbicara masalah “pacaran”. “Pacaran” di pondok memang dilarang tapi ada saja yang melanggar dan ketahuan. Yang dimaksud dengan ketahuan itu, misalnya ketahuan berkirim surat, atau ada yang melaporkan bahwa si A memiliki hubungan dengan si B. Kalau sudah ketahuan mereka akan disidang dan diberikan sanksi. Sanksinya paling ringan adalah di botak bagi yang pria dan yang wanita memakai kerudung merah yang bau.
Ketika itu aku tidak terlalu minat untuk pacaran. Karena aku takut kalau ketahuan bisa-bisa dibotak. Beberapa temanku ada yang meledek dan adapula yang mensuport (mensuport untuk pacaran, hehe). Aku bingung, biasanya aku curhat dengan kakak angkatku, tapi sayang dia sudah tidak berada di pondok lagi. Begitu selesai kelas tiga tsanawiyah, dia langsung melanjutkan ke ponpes gontor putri.
Sebenarnya ketika itu teman-temanku sudah membuat gosip tentang diriku. Entah tidak ada angin tidak ada hujan, mereka mencoba menjodohkanku dengan seseorang “istilah kerennya nyomblangin gitu”. Aku tidak begitu meresponnya, tanggapanku biasa-biasa saja. Sampai hari itu pun tiba. Sepucuk surat datang melalui temanku. Temanku itu sudah ahli dalam kirim-mengirim surat. Agar tidak booming aku menyuruh temanku agar tidak menceritakannya kepada yang lain. Segera aku masukkan surat tersebut kedalam saku, lalu pergi ke tempat jemuran. Aku berniat akan membacanya disana, agar tidak ketahuan temanku yang lain. Sesampainya disana kulihat sejenak bagian depan surat tersebut. Tertulis disana “untukmu seluruh hati ini bersandar” disampingnya terdapat gambar love yang dibuat dengan tinta merah.
Dengan penasaran aku buka dan mulai membacanya dengan saksama. Tidak terlewatkan setiap huruf-huruf yang ditulis. Setiap paragrafnya membuat jantung bedebar-debar. Hingga satu paragraf yang Ia tulis,
“Mungkin akhi sudah tahu, tentang gosip yang beredar di angkatan kita. Awalnya aku sungguh tidak menyangka kalau kita dicomblangin sama teman-teman. Aku takut kalau dengan gosip yang beredar ini membuat akhi marah kepadaku, bahkan sampai membenciku. Aku memang mengagumimu, karena kamu pintar, baik, dan shaleh. Oleh karena itu aku kirim surat ini sebagai permintaan maafku. Dan aku berharap akhi mau membalasnya, agar ada kejelasan dari gosip yang beredar ini”
Ketika aku membaca paragraf ini, aku juga mengira bahwa aku tidak merespon gosip yang beredar dengan tegas, seakan aku mengiyakan gosip yang beredar itu. Mungkin aku juga telah membuatnya berharap. Aku kemudian berpikir keras, apakah harus aku balas surat ini. Lagi pula aku juga tidak tahu siapa dia, tahu namanya tapi tidak tahu orangnya.
Setelah dipikir-pikir kenapa aku tidak tanya saja kepada temanku tentang wanita itu. Akhirnya aku bertemu dengan temanku yang kenal banyak dengan santriwati. Kami berbicara hanya empat mata, tidak ada yang boleh tahu mengenai hal ini. Aku bertanya kepadanya tentang santriwati itu, bagaimana orangnya, sifatnya, dan lain-lain, sampai sedetail-detailnya. Tapi apa yang dikata, jawabanya sangat kurang memuaskan. Temanku hanya menjawab “lumayan lah”. Atau jangan-jangan dia juga tidak tahu.
Sejak surat santriwati itu aku menjadi tidak fokus dengan pelajaran-pelajaran di kelas. Karena aku masih penasaran dengan orangnya. Akhirnya muncullah khayalan dibenakku. Aku berkhayal dia adalah orang yang cantik rupanya, putih kulitnya, pintar, rajin ibadahnya, dan lain-lain. Padahal belum saja jadian, surat santriwati itu membuat aku lupa daratan.
Perasaan GR dan harus tampil optimal selalu muncul dipikiranku. Sampai ketika itu, kepribadianku berubah, aku menjadi orang yang narsis. Mau ke masjid, kelas, dan math’am (tempat makan) pakai sabun muka terlebih dahulu, pakai minyak wangi, dan tak lupa penampilan rapih. Terutama kalau pergi ke kantin penampilan harus memukau tatapan santriwati, karena tempatnya berada diperbatasan wilayah santri putra dan putri.
Seminggu sejak turunnya surat santriwati itu, bertepatan dengan acara pondok yang diadakan di qo’ah (aula). Ketika itu semacam acara pentas seni yang menampilkan kreativitas santri baik putra maupun putri. Kebetulan aku juga ikut tampil dalam acara tersebut. Aku tampil di grup nasyid. Beruntung, kami tampil lebih awal. Jadi, ketika sudah tampil, aku langsung mencari tempat duduk agar bisa menyaksikan penampilan-penampilan lainnya.
Sedang asyik menyaksikan penampilan sastra puisi. Temanku yang berada di depan tidak jauh dari tempat dudukku, memanggil-manggilku. Ia mengajakku untuk duduk di kursi yang kosong disebelahnya. Akupun langsung menghampirinya. Dia adalah temanku yang beberapa waktu lalu aku mintai pendapat tentang surat santriwati itu. Lalu ia berkata kepadaku,
“mau tau nggak wanita yang selama ini ente idam-idamkan?” tanya dia kepadaku sambil tersenyum lebar.
Langsung saja aku jawab iya, karena rasa penasaranku sampai membuat pikiranku gentayangan. Dia berkata bahwa sebentar lagi santriwati itu akan muncul, karena dia juga ikut tampil dalam acara pentas seni tersebut. Setelah menunggu beberapa lama, sebuah penampilan dari santriwati yang akan menampilkan tarian tradisional akan segera tampil. Temanku yang duduk disampingku itu langsung menepuk pundakku. Katanya santriwati yang aku cari ada di penampilan tarian tradisional itu. Jantungku langsung berdetak amat hebatnya. Ketika penampilan sudah dimulai, temanku langsung menepuk bahu kananku dan berkata,
“itu lho yang berdiri ketiga dari sebelah kanan” tunjuk temanku kearahnya.
Mataku langsung mulai menghitung dari sebelah kanan. Satu, dua dan tiga. Ternyata begitu aku melihat santriwati itu, khayalan yang sudah aku bangun di dalam otakku runtuh seruntuh-runtuhnya. Narsis yang aku jalani ternyata sia-sia. Malam itu aku tidur dalam kehampaan.
Sejak saat itu aku memutuskan untuk tidak membalas suratnya. Dan akupun juga sadar bahwa pacaran itu akan menhancurkan segalanya. Mulai dari pikiran dan perbuatan. Belum saja pacaran sudah menghabiskan banyak tenaga dan pikiran, apalagi kalau sudah jadian. Untungnya santriwati itu bukan tipeku. Ya meskipun ini agak jahat, tapi begitulah cinta, harus ada kesepakatan bersama. Jika suka sama suka maka jadilah cinta, namun bila tidak, jangan takut Allah pasti akan mempertemukannya.
………………………….Bersambung………………………….
Terima kasih telah membaca kisahku. Baca kisah selanjutnya, Ketika Santri Bertasbih V