Syura adalah salah satu pilar syar’i yang perintahnya berlandaskan al-Quran. Syura juga merupakan metode yang berhubungan erat dengan aqidah dan syariah. Syura memiliki akar yang dalam, jangkauannya luas di dalam jiwa pribadi seseorang dan dalam keberadaan masyarakat.[1] Doktor Mahmud Muhammad Babili dalam kitab al- Syûrâ Sulûkun wal Iltizâmun mengomentari ayat وشاورهم في الأمر /bermusyawarahlah kamu dengan mereka dalam suatu urusan dan ayat وأمرهم شوري يينهم /dan perkara mereka (diputuskan) dengan Syûrâ di antara mereka dengan mengatakan sebagai berikut,
[2]من هذا النص الكريم ومن النص العام نستخرج وجوب استشارة ولي الأمر لأهل الرأي ممن يثق بهم ويعتمدهم
Artinya: dari ayat yang mulia ini dan dari ayat (lain) yang besifat umum, kami mengeluarkan hukum meminta pendapat bagi seorang penguasa kepada seorang ahli dari kalangan yang terpercaya di antara mereka dan menyandarkan kepada (pendapat) mereka adalah wajib.
Perbedaan Syûrâ dan Istisyârah
Dengan demikian, menurutnya melakukan Syûrâ hukumnya wajib. Menurut Dr Taufiq, terdapat perbedaan antara Syûrâ dan Istisyârah, menurutnya Syûrâ bersifat berjamaah yang menghasilkan ketetapan yang mengikat, sementara Istisyârah bersifat opsional yang berarti pendapat orang tertentu baik dimintai pendapatnya atau tidak, tidak mengikat orang yang meminta pendapatnya.[3]
Perlu kita ketahui, bahwa dalil tentang Syûrâ dalam al-Quran hanya merujuk pada dua ayat, pertama qs. Al- Syûrâ; 38 yaitu وأمرهم شوري يينهم /dan perkara mereka adalah melakukan Syûrâ di antara mereka dan qs. Ali Imran ayat 159 وشاورهم في الأمر /bermusyawarahlah kamu dengan mereka dalam suatu urusan. Ayat pertama -menurut albabiliy- turun di Makkah yakni ketika kaum muslimin belum memiliki Daulah Islamiyah, sementara ayat kedua turun di Madinah ketika peristiwa Uhud dimana posisi Rasulullah sebagai kepala Negara sehingga sifat perintah tersebut untuk seorang kepala Negara, bukan sebagai nabi (sebab jika sebagai nabi, tidak perlu meminta pendapat).[4]
Menurut al ‘Alamah al-Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani, syura tidak memiliki makna lain selain makna bahasa, yakni akhdzu al-Ra’yi yang berarti mengambil pendapat. Ini terjadi dari seorang khalifah, amir, atau siapa saja yang memeliki wewenang untuk mengambil suatu pendapat dari umat Islam. Bukan yang lain. Sebab Syura adalah perintah yang masyhur dan ma’ruf baik berdasarkan al-Quran, Sunnah dan juga Aqwâl kaum muslimin untuk kaum muslimin, dengan alasan dlamir hum pada kedua ayat di atas merujuk kepada kaum Muslimin. Dan Rasulullah adalah orang yang paling sering bermusyawarah dengan kaum muslimin. Dari Abu Hurairah berkata, “Aku tidak melihat seseorang yang lebih sering bermusyawarah dengan sahabatnya daripada Rasulullah Saw”. (HR. Al-Baihaqiy)
Hanya saja yang masih buram di dunia kaum muslimin adalah perkara apa saja yang boleh bermusyawarah atau perkara apa yang dapat diambil berdasarkan musyawarah? Begitu juga apa standarisasi sebuah pendapat dapat diambil, apakah berdasarkan suara terbanyak tanpa melihat benar dan salah, ataukah berdasarkan pendapat terkuat tanpa memandang mayoritas dan minoritas, atau standarisasi apa? Sebelum kita menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas, alangkah baiknya kita dengarkan terlebih dahulu macam-macam pendapat yang ada di dunia menurut Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani. Dengan begitu kita akan memahami rinciannya dengan waadlih/jelas.
“Adapun fakta pendapat yang ada di dunia” demikian kata Syaikh Taqiyuddin dalam kitab al-Syakhsiyah al-Islamiyah “maka fakta tersebut tidak pernah keluar dari empat jenis dan tidak ada jenis yang kelima. Jika pun ada, biasanya merupakan pendapat turunan dari salah satu pendapat yang empat ini” pungkasnya.
- Pendapat tersebut menyangkut hukum syara (Ra’yan Tasrî’iyan)
- Pendapat tersebut mengenai definisi untuk suatu perkara, baik definisi hukum syara, atau definisi tentang suatu fakta seperti definisi akal misalnya, atau definisi masyarkat dan sejenisnya.
- Pendapat mengenai sesuatu yang mengarah pada pemikiran tentang seni atau teknis yang diketahui oleh seorang ahli.
- Pendapat yang mengarah kepada suatu perbuatan di antara berbagai opsi agar petunjuk tersebut dapat dilakukan.
Dari keempat fakta pendapat di atas, manakah yang boleh bermusyawarah, harus bermusyawarah dan tidak boleh bermusyawarah? Atau bolehkah bermusyawarah pada semua jenis pendapat di atas?
Jika kita hanya mengacu pada kedua ayat al-Quran, al-Syura: 38 dan Ali Imran 159, maka keempat pendapat tersebut bisa saja termasuk perkara yang diperbolehkan bermusyawarah. Sebab, kedua ayat itu bersifat umum dan berlaku keumumannya jika tidak ada yang mentakhshis. Oleh karena itu, kita perlu meneliti pada sumber dalil kedua yaitu sunnah yang dengannya kita dapat menemukan rincian mana yang boleh dan mana yang tidak. Jika melihat pada sunnah, setidaknya ada empat yang merinci keumuman perintah syura, satu diantaranya berbentuk qauliyah (perkataan) dan tiga berbentuk fi’liyah (perbuatan).
- Sunnah Qauliyah (perkataan)
Rasulullah Saw bersabda kepada Abu Bakar dan Umar bin Khattab, لو اجتمعتما في مشورة ما خالفتكما /Jika kalian berdua bersepakat dalam musyawarah maka aku tidak akan menyelisihinya. Dari sabdanya ini, Rasulullah mengharuskan dirinya untuk tidak menyelisihi kesepakatan keduanya. Itu berarti, larangan menyelisihi pendapat mayoritas.
- Sunnah Fi’liyyah (perbuatan)
- Peristiwa Uhud
Pada saat sebelum perang Uhud, Rasulullah dan para sahabat bermusyawarah, apakah mereka akan berperang di dalam kota Madinah atau di luar kota. Rasulullah dan para sahabat senior berpendapat agar berperang di dalam kota. Ini pula yang disetujui dedengkot munafiq, Abdullah bin Ubay bin Salul. Hanya saja para sahabat yang masih muda menginginkan agar bertempur di luar kota, dan suara mereka lebih banyak. Meski menurut al-Baabiliy sebetulnya yang bersikeras hanya segelintir orang, tetapi pendapat itu diikuti mayoritas sahabat muda.[5] Segelintir yang bersikeras untuk keluar Madinah itu diantaranya Hamzah bin Abdul Muthalib, Paman Rasulullah Saw yang nantinya gugur dalam pertempuran ini, ia berkata kepada Rasul ‘’Demi dzat yang menurunkan al-Quran kepada engkau, aku tidak akan menelan makanan hingga mebabat mereka dengan pedangku ini di luar Madinah’’, kelak, Hamzah gugur dalam pertempuran ini sebagai Sayyidus Syuhada.[6]
Melihat fenomena ini, akhirnya Rasulullah masuk ke dalam rumah untuk mengenakan baju perangnya. Lalu pihak yang bersikeras tersebut berkata, استكرهناك ولم يكن لنا ذلك فأن شئت فاقعد صلي الله عليك /kami merasa menyesal kepadamu, tidak ada bagian untuk kami dalam perkara itu, jika engkau bersedia maka duduklah, niscaya Allah memberikan (rahmat) kepadamu. (HR. al-Hakim) tetapi Rasulullah menolak untuk menarik usulan mereka, malah Rasulullah bersabda,[7] ما ينبغي لنبي إذا لبس لامته أن يضعها حتي يقاتل أو يحكم الله بينه وبين عدوه /Tidaklah patut bagi seorang Rasul jika sudah mengenakan baju perangnya, melepaskan kembali, sampai ia memerangi musuhnya atau Allah memberi keputusan antara dirinya dan musuhnya.
Dalam peristiwa ini, Rasulullah menyandarkan kepada pendapat mayoritas. Bahkan lebih dari itu, beliau mengharuskan kepada dirinya untuk mengikuti pendapat tersebut.
- Peristiwa Badr
Pada peristiwa ini, Rasulullah mengambil pendapat dari satu orang. Kisahnya ketika Rasulullah menetapkan suatu posisi yang menurut satu orang ini (Hubab bin Mundzir) tidak tepat. Hubab berkata,
أرأيت هذا المنزل أمنرلا أنزلكه الله فليس لنا أن نتقدمه ولا نتأخر عنه؟ أم هو الرأي والحرب مكيدة؟ قال رسول الله : بل هو الرأي والحرب مكيدة. فقال: يارسول الله, إن هذا ليس بمنزل, ثم أشار إلي مكان, فما لبث الرسول أن أقام ومن معه واتبع رأي الحباب (دلائل النبوه للبيهقي)
Artinya: Bagaimana menurutmu tentang posisi ini, atau apakah posisi ini diturunkan (diwahyukan) dari Allah Swt. Sehingga kita tidak dapat maju atau mundur? Rasulullah menjawab ‘ini hanya sebuah pendapat, sebab perang itu merupakan siasat’, lalu Hubab menimpali lagi ‘Ya Rasulallah, jika begitu maka posisi ini tidak tepat’. Kemudian Hubab menunjuk tempat yang ideal, maka Rasulullah tidak berdiam diri di tempat semula (melainkan berpindah ke tempat yang ditunjukan Hubab) bersama yang lain. Dalam hal ini, Rasulullah mengikuti pendapat Hubab. (HR. Baihaqiy)
Fakta peristiwa ini menunjukkan bahwa Rasulullah mengambil pendapat dari satu orang saja.
- Peristiwa Hudaibiyah
Pada peristiwa ini Rasulullah menolak semua usulan para sahabatnya sekalipun diantara mereka banyak yang kecewa, beliau berpegang teguh dengan pendiriannya. Dalam hal ini Rasulullah Saw bersabda, إني رسو ل الله ولست أعصيه وهو ناصري /aku adalah Rasulullah, aku tidak akan bermaksiat kepada-Nya dan Dialah penologku.
Fakta peristiwa ini menunjukkan bahwa Rasulullah mengabaikan semua pendapat.
Dari ketiga hadits fi’liyah dan satu hadits qauliyah ini menunjukan tiga kondisi yaitu syura/pengambilan pendapat didasarkan pada suara mayoritas, disandarkan pada pendapat terkuat, dan syura tidak berlaku alias tertolaknya semua pendapat. Sekarang, mari kita terapkan tiga kondisi ini kepada jenis-jenis pendapat yang ada di dunia seperti yang telah dibahas sebelumnya.
- Pendapat yang menyangkut hukum syara (Ra’yan Tasrî’iyan)
Pendapat semacam ini dapat dihukumi dengan pristiwa Hudaibiyah, yakni tidak menyandarkan kepada suara mayoritas atau pun pendapat seseorang. Sandaran pendapat ini hanya didasarkan pada kekuatan dalil syar’i, bukan kekuatan suara. Oleh karena itu, Rasulullah bersikap keras menolak semua pendapat sahabat saat peristiwa tersebut. Sebab, keputusan Rasululah saat itu hakikatnya wahyu. Indikasinya sangat jelas dalam sabdanya, إني رسو ل الله ولست أعصيه وهو ناصري /aku adalah Rasulullah, aku tidak akan bermaksiat kepada-Nya dan Dialah penologku. yang disebut dalil syar’i adalah al-Kitab, al-Sunnah, Ijmak dan Qiyas.
- Pendapat mengenai definisi untuk suatu perkara, baik definisi hukum syara, atau definisi tentang suatu fakta seperti definisi akal misalnya, atau definisi masyarkat dan sejenisnya.
- Pendapat mengenai sesuatu yang mengarah pada pemikiran tentang seni atau teknis yang diketahui oleh seorang ahli.
Pendapat jenis kedua dan ketiga ini dirajihkan berdasarkan pendapat yang paling kuat, bukan disandarkan kepada pendapat mayoritas. Misalnya masalah kebangkitan (al-Nahdlah), apakah dapat diraih dengan keunggulan berfikir atau kemajuan ekonomi? Apakah sikap internasional bersama negara fulan atau fulan? Dan sejenisnya. Maka pendapat seperti ini masuk dalam sabda Rasul “بل هو الرأي والحرب مكيدة” /tetapi ini sebuah pendapat dan perang adalah siasat. Maka saat itu Rasulullah merajihkan pendapat Hubab bin Mundzir. Yang perlu diperhatikan dalam pendapat yang mengarah pada pemikiran itu apakah sesuai fakta atau tidak. Oleh karena itu pemikiran mengenai definisi misalnya, nanti didasarkan pada pendapat yang paling sesuai dengan fakta.
- Pendapat yang mengarah kepada suatu perbuatan di antara berbagai opsi agar petunjuk tersebut dapat dilakukan.
Pendapat sejenis ini dapat dihukumi dengan hadits fi’liyah dalam peristiwa Uhud, yakni didasarkan pada suara mayoritas tanpa memerhatikan lagi benar atau salah. Sebab, ketika itu Rasulullah mengharuskan dirinya untuk mengikuti suara mayoritas yakni berperang di luar kota Madinah. Hal ini dikuatkan juga dengan hadits qauliyah yakni لو اجتمعتما في مشورة ما خالفتكما /Jika kalian berdua bersepakat dalam musyawarah maka aku tidak akan menyelisihinya.
Dengan terjawabnya rincian masalah syura tersebut, kini tinggal satu masalah lagi, yakni siapakah yang menentukan suatu pendapat dianggap paling kuat? Sebelumnya kita telah mengetahui bahwa pendapat mengenai hukum syara’ disandarkan pada kekuatan dalil, pendapat yang mengarah pada pemikiran disandarkan pada pendapat yang paling benar, sementara pendapat yang mengarah pada perbuatan disandarkan pada suara mayoritas.
Kemudian ketika muncul suatu pertanyaan siapa yang menentukannya? Maka yang menentukan pendapat yang paling benar adalah shaahib al-Sholahiyah (pemilik wewenang) seperti pimpinan suatu kaum, ketua kelompok atau sejenisnya. Sebab merekalah yang bermusyawarah dengan jamaah untuk mencapai pendapat yang akan mengarahkan perjalanan mereka.
Dengan rincian ini pula kita dapat membedakan dengan ‘syura’ yang ada pada sistem demokrasi dimana dalam sistem ini tidak dipilah mana yang berkaitan dengan hukum syara’, pemikiran atau yang mengarah pada perbuatan sehingga perkara hukum syara’ pun –dalam sistem ini- akan tetap menjadi opsi yang dapat dimusyawarahkan. Padahal, mestinya menjadi kewajiban yang harus ditegakkan.
Wallahu’alam bi al-Showâb.
Ditulis oleh Andi Saepudin, S.Sy
Penulis di Maknawi.net
(Alumni Hukum Tata Negara UIN Syarif Hidayatullah Jakarta)
[1] Taufiq Muhammad Asy-Syawi, Demokrasi atau Syura, (Jakarta: Gema Insani, 2013) hlm. 25
[2] Mahmud Muhammad Baabili, al- Syûrâ Sulûkun wa Iltizâmun (Riyadh: Maktabah al-Tsaqofah, 1985) Hlm, 38
[3] Ibid hlm, 75
[4] Mahmud Muhammad Baabili, al- Syûrâ Sulûkun wa Iltizâmun (Riyadh: Maktabah al-Tsaqofah, 1985) Hlm, 37
[5] Mahmud Muhammad Baabili, al- Syûrâ Sulûkun wa Iltizâmun (Riyadh: Maktabah al-Tsaqofah, 1985) Hlm, 94
[6] Syafiurrahman al-Mubarokfuri, Sejarah Emas dan Atlas Perjalanan Nabi Muhammad, Penj M. Misbah, Lc (Surakarta: Ziyad Visi Books, 2012), hlm. 404
[7] Mahmud Muhammad Baabili, al- Syûrâ Sulûkun wa Iltizâmun (Riyadh: Maktabah al-Tsaqofah, 1985) Hlm, 94