Perjalanan panjang menjadi seorang santri tidaklah mudah. Kadang harus melewati beberapa rintangan dan tantangan. Ada yang berhasil ada juga yang gagal. Rintangan dan tantangan selama menjadi santri merupakan bumbu-bumbu kehidupan, yang nantinya disajikan untuk terjun di masyarakat.
Botak Berjama’ah
Semakin lama di pondok semakin mustauli ma’had (menguasai pondok). Karena merasa menguasai pondok akhirnya banyak peraturan-peraturan yang dilanggar. Terus terang saja, padahal aku baru duduk di kelas tiga tsanawiah. Banyak dari teman-temanku yang kabur ketika malam hari tanpa diketahui oleh bagian keamanan. Entah kenapa aku merasa tinggal di pondok tapi tidak merasa seperti di pondok. Setelah dipikir-pikir itu karena aku banyak bergaul dengan teman-teman yang gholat (bandel), kadang suka kabur keluar sekedar beli makan, dan bermain playstation.
Alhamdulillah aku belum pernah ketahuan. Oleh karena itu aku dipandang baik di depan kakak-kakak pengurus dan para asatidz. Namun pada suatu ketika bencana menimpaku, membuat namaku menjadi jelek di mata mereka. Tidak ada yang bisa disalahkan, karena aku ikut bagian dari mereka. Aku menyalahkan diri sendiri tapi juga tak dapat mengubah apapun.
Kejadian pada waktu itu di malam hari. Ada salah satu temanku yang berulang tahun pada hari itu. Kebetulah yang ulang tahun adalah sahabatku yang dia termasuk pembesar di angkatan. Sebelum malam itu, di siang harinya teman-teman yang lain sudah mempersiapkan acara ceplok telor dan berencana untuk menjebak sahabatku. Akupun ikut andil dalam proses penjebakan itu. Kami akan menjebaknya ketika tengah malam.
Asramaku pada waktu itu dekat dengan sawah. Tepat dibelakang asrama terdapat berhektar-hektar sawah dan juga peternakan sapi. Asramaku jarang sekali dijangkau oleh pengurus kelas enam. Apalagi ketika tengah malam. Mungkin karena asrama itu baru dibangun jadi banyak kakak kelas terutama pengurus yang kurang menguasai wilayah tersebut.
Ketika waktu itu tiba, kami langsung bersiap-siap. Semua teman-temanku berkumpul di belakang asrama. Setelah semuanya siap, aku menjadi alat untuk memancing sahabatku itu agar mau ke belakang asrama. Aku kemudian mengajaknya ke belakang asrama dengan dalih ada banyak makanan gratis. Agar lebih meyakinkan aku katakan padanya bahwa teman-teman lainnya sudah berada disana. Akhirnya dia mau kuajak, dan segera kami menuju belakang asrama.
Proses penjebakan berjalan dengan lancar. Ketika sampai di belakang asrama, disana telah tersedia nasi kuning dengan ayang bakar guling. Perserta yang ikut dalam acara itu ada sekitar 20 orang santri. Setelah semuanya komplet, kami menyantap makanan tersebut dengan lahap “nyam..nyamm”. Tidak ada sisa makanan, semuanya bersih bahkan tulang-tulangnya.
Setelah selesai makan, perut kenyang, dan pikiran tenang. Kami duduk-duduk sambil menikmati keindahan malam. Tak lama kemudian sebuah isyarat datang. Kami langsung menggotong teman kami yang ulang tahun itu dan menghempaskannya ke tanggul sawah. Sungguh malang sahabatku itu, kebetulan tanggul itu airnya sedikit dan lumpurnya menggumpal. Begitu dia bangung dari tanggul itu, ia seperti manusia lumpur. Tidak ada belas kasihan pasukan pelempar telur langsung menghujaminya dengan telur ayam. Baunya jadi tidak karuan.
Suasana ketika itu menjadi berisik. Malam yang tadinya hening menjadi ramai dan gaduh. Tidak lama kemudian ada sorotan senter jarak jauh. Gawat, ternyata itu adalah bagian keamanan. Melihat itu kami langsung pergi kesawah untuk bersembunyi. Kami berpencar mencari tempat yang aman. Ternyata bukan hanya keamanan, sebagian asatidz juga turun tangan. Akhirnya kami lari semakin jauh, sampai-sampai aku berlari sambil merayap.
Kami mendengar teriakan bagian keamanan dan asatidz yang menyuruh kami agar segera kembali. Tapi karena saking takutnya kami tidak kembali sampai subuh.
Begitu sebagian teman kami tertangkap, akhirnya kami menyerahkan diri. Kami kemudian dikumpulkan di rumah pengasuh pondok pesantren. Saat itu aku merasa sangat malu dan menyesal. Nama baikku tercoreng, nama baik angkatan tercoreng, dan nama baik asrama tercoreng. Setelah kejadian itu asramaku menjadi ketat pemantauannya oleh bagian keamanan. Aku malu dengan wali kelas, aku malu dengan pembimbing asrama, aku malu dengan kakak-kakak kelas, aku malu dengan para asatidz dan yang lebih malu lagi dengan pengasuh pondok pesantren.
Ketika berada di rumah pengasuh pondok pesantren, kami ditawarkan dua pilihan sanksi. Yang pertama dibotak dan bersih-bersih seluruh pondok pesantren. Dan yang kedua, tidak diperkenankan mengikuti Ujian Akhir Semester (UAS) dan Ujian Nasional (UN). Kedua sanksi itu sangat memberatkan. Kalau pilih yang pertama, pasti harus siap menanggung malu, dan seluruh santri mulai adik kelas sampai kakak kelas, putra maupun putri pasti akan tau. Karena pada waktu itu sanksi botak adalah sebuah aib di mata santri lain. Begitu juga kalau pilih yang kedua, otomatis kami harus mengulang lagi di kelas tiga karena tidak ikut ujian dan harus menanggung malu juga.
Setelah dipikir-pikir kami memutuskan untuk dibotak dan bersih-bersih seluruh pondok. Biarlah orang berkata apa, aku harus menerima kenyataan yang ada dan bertanggung jawab dari apa yang aku perbuat. Ini pertama kalinya aku dibotak dengan masalah yang sebenarnya sepele. Itu karena aku ikut-ikutan.
Sejak saat itu aku kapok dan tidak ingin ikut-ikutan lagi. Akhirnya sekitar 20 orang dibotak plontos (tidak ada rambut sedikitpun, karena sampai pada tahap pengerikan). Rasanya seperti dipenjara dalam penjara. Mau ke math’am (tempat makan) malu, mau ke kantin malu, mau ke kelas malu, pokoknya mau kemana-mana malu. Apalagi kalau sampai terlihat santriwati, malunya tuh disini euy.
…………………………Bersambung…………………………
Nantikan kisah selanjutnya, Ketika Santri Bertasbih VI